Beranda | Artikel
Mengenal Tauhid [Bagian 5]
Jumat, 10 November 2017

Mengenal Pilar-Pilar Ibadah Hati

Bismillah.

Alhamdulillah pada kesempatan ini kita bisa berjumpa kembali dalam seri Mengenal Tauhid dengan mengkaji kandngan pelajaran dan faidah dari Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah. Masih melanjutkan pembicaraan kita tentang makna ibadah kepada Allah. Dimana hal itu merupakan tujuan penciptaan jin dan manusia.

Ibadah kepada Allah -sebagaimana sudah berlalu pembahasannya- adalah perendahan diri dan ketundukan kepada Allah dengan dilandasi kecintaan kemudian membuahkan ketaatan kepada perintah dan larangan-Nya. Ibadah kepada Allah mencakup segala hal yang dicintai dan diridhai oleh Allah, berupa perkataan dan perbuatan; yang tampak dan tersembunyi.

Ibadah kepada Allah ini akan bisa diterima jika disertai dengan tauhid. Sebagaimana halnya sholat tidak akan diterima tanpa thaharah/bersuci. Apabila ibadah tercampuri syirik maka ia menjadi sirna sebagaimana halnya thaharah apabila tertimpa dengan hadats. Hakikat tauhid itu adalah mempersembahkan segala bentuk ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Setiap perintah beribadah kepada Allah maka terkandung di dalamnya perintah untuk bertauhid; karena ibadah tidak diterima tanpa tauhid kepada-Nya.

Kemudian, kaum muslimin yang dirahmati Allah, perlu kita ketahui bahwa ibadah yang memenuhi syarat adalah ibadah yang ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila ibadah itu ikhlas tetapi tidak sesuai tuntunan maka tidak diterima, sebagaimana halnya apabila ibadah itu sesuai tuntunan tetapi tidak ikhlas maka juga tidak diterima.

Ibadah kepada Allah akan tumbuh dari dua pondasi penghambaan yaitu puncak kecintaan dan puncak perendahan diri. Puncak kecintaan akan tumbuh dari sikap senantiasa melihat pada banyaknya curahan nikmat dari Allah kepada kita, sedangkan puncak perendahan diri akan muncul dari sikap senantiasa melihat pada banyaknya kekurangan dan aib yang ada pada diri dan amalan kita. Dari sini kita mengetahui bahwa ibadah kepada Allah bukan semata ucapan dengan lisan atau gerakan dengan anggota badan. Lebih dari itu ibadah kepada Allah harus ditopang oleh akidah dan amalan hati.

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah menerangkan, bahwa kedudukan aqidah bagi ilmu-ilmu maupun amal-amal yang lain laksana pondasi bagi sebuah bangunan. Laksana pokok bagi sebatang pohon. Sebagaimana halnya sebuah bangunan tidak bisa berdiri tanpa pondasi dan pohon tidak akan tegak tanpa pokok-pokoknya, maka demikian pula amal dan ilmu yang dimiliki seseorang tidak akan bermanfaat tanpa aqidah yang lurus. Oleh sebab itu perhatian kepada masalah aqidah harus lebih diutamakan daripada perhatian kepada masalah-masalah apapun; apakah itu kebutuhan makanan, minuman, atau pakaian. Karena aqidah itulah yang akan memberikan kepada seorang mukmin kehidupan yang sejati, yang dengannya jiwanya akan menjadi bersih, yang dengannya amalnya menjadi benar, yang dengannya ketaatan bisa diterima, dan dengan sebab itu pula derajatnya akan semakin meninggi di hadapan Allah ‘azza wa jalla (lihat mukadimah Tadzkiratul Mu’tasi Syarh Aqidah al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi, hal. 8 cet. I, 1424 H)

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Barangsiapa yang mencermati syari’at, pada sumber-sumber maupun ajaran-ajarannya. Dia akan mengetahui betapa erat kaitan antara amalan anggota badan dengan amalan hati. Bahwa amalan anggota badan tak akan bermanfaat tanpanya. Dan amalan hati lebih wajib daripada amalan anggota badan. Apakah yang membedakan antara mukmin dengan munafik kalau bukan karena amalan yang tertanam di dalam hati masing-masing di antara mereka berdua? Penghambaan/ibadah hati itu lebih agung daripada ibadah anggota badan, lebih banyak dan lebih kontinyu. Karena ibadah hati wajib di sepanjang waktu.” (lihat nukilan perkataan beliau dalam Ta’thir al-Anfas, hal. 14-15)

Ibnul Qayyim rahimahullah juga menegaskan, “Amalan-amalan hati itulah yang paling pokok, sedangkan amalan anggota badan adalah konsekuensi dan penyempurna atasnya. Sebagaimana niat itu menduduki peranan seperti halnya ruh, sedangkan amalan itu laksana tubuh. Itu artinya, jika ruh berpisah dari jasad, maka jasad itu akan mati. Oleh sebab itu memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan gerak-gerik hati itu lebih penting daripada mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan gerak-gerik anggota badan.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 15)  

Allah berfirman (yang artinya), “Tidakkah kamu melihat bagaimana Allah membuat suatu perumpamaan kalimat yang baik -yaitu kalimat tauhid- seperti pohon yang bagus; yang pokoknya kokoh terhunjam sedangkan cabangnya menjulang tinggi ke langit.” (Ibrahim : 24)

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Oleh sebab itu semestinya perhatian dalam perkara aqidah lebih didahulukan di atas perhatian kepada segala urusan. Terlebih-lebih lagi kerusakan dalam masalah aqidah ini telah semakin merajalela di tengah manusia, dan muncullah beraneka ragam penyimpangan dalam hal akidah dari berbagai sisi.” (lihat Tadzkiratul Mu’tasi Syarh ‘Aqidah al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi, hal. 9)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Aqidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan aqidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apapun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan aqidahnya.” (lihat Ia’nat al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid [1/17])      

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Simpul pokok ajaran agama ada dua: kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita beribadah kepada-Nya hanya dengan syari’at-Nya, kita tidak beribadah kepada-Nya dengan bid’ah-bid’ah. Hal itu sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan sesuatupun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (al-Kahfi: 110).” (lihat nukilan perkataan beliau dalam Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 87)

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa tidak mungkin bagi kita untuk beribadah kepada Allah dengan cara yang diridhai oleh-Nya kecuali dengan mengikuti jalan para rasul ‘alaihimus sholatu was salam, karena mereka lah orang yang menjelaskan kepada kita apa-apa yang dicintai Allah dan diridhai-Nya. Mereka pula yang menerangkan kepada kita apa-apa yang bisa mendekatkan diri kita kepada Allah. Dengan tujuan itulah Allah mengutus para rasul kepada kita (lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, hal. 32)

Hakikat dan Pilar-Pilar Ibadah

Hakikat ibadah itu adalah ketundukan dan perendahan diri. Apabila disertakan bersamanya kecintaan dan kepatuhan maka jadilah ia ibadah secara syar’i. Dalam tinjauan syari’at, ibadah itu adalah melaksanakan perintah dan menjauhi larangan dengan dilandasi rasa cinta, harap, dan takut (lihat at-Tam-hiid, cet. Dar al-Minhaj, hal. 22)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “… ibadah adalah segala sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah berupa ucapan dan perbuatan, yang tampak/lahir maupun yang tersembunyi/batin.” (lihat I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitab at-Tauhid, 1/40)

Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, “Ibadah adalah ketaatan kepada Allah dengan melaksanakan segala perintah Allah yang disampaikan melalui lisan para rasul.” (lihat dalam Fat-hul Majid Syarh Kitab at-Tauhid, cet. Mu’assasah Qurthubah, hal. 29)

Imam al-Baghawi rahimahullah berkata, “Ibadah adalah ketaatan yang disertai dengan perendahan diri dan ketundukan. Seorang hamba disebut sebagai abdi (hamba) karena perendahan diri dan ketundukannya.” (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 10)

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Seorang abdi/hamba adalah orang yang menyesuaikan diri dengan sesembahannya [Allah] dalam apa saja yang dikehendaki oleh-Nya secara syar’i.” (lihat Tafsir Juz ‘Amma, hal. 18)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ibadah dalam terminologi syari’at adalah ungkapan mengenai satu kesatuan perbuatan yang memadukan kesempurnaan rasa cinta, ketundukan, dan rasa takut.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 1/134 cet. Dar Thaibah)

Syaikh Abdullah bin Ibrahim al-Qar’awi hafizhahullah berkata, “Ibadah adalah ketaatan yang disertai perendahan diri, ketundukan, dan kecintaan.” (lihat Tafsir Suratil Fatihah, hal. 18)

Istilah ibadah mencakup sikap perendahan diri kepada Allah dan tunduk kepada-Nya dengan penuh kecintaan dan pengagungan. Selain itu ibadah juga bermakna segala bentuk ibadat yaitu meliputi apa saja yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang batin maupun yang lahir (lihat al-Lubab fi Tafsiril Isti’adzah wal Basmalah wa Fatihatil Kitab, hal. 253-254 oleh Dr. Sulaiman bin Ibrahim al-Lahim hafizhahullah)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ibadah dibangun di atas dua perkara; cinta dan pengagungan. Dengan rasa cinta maka seorang berjuang menggapai keridhaan sesembahannya (Allah). Dengan pengagungan maka seorang akan menjauhi dari terjerumus dalam kedurhakaan kepada-Nya. Karena kamu mengagungkan-Nya maka kamu merasa takut kepada-Nya. Dan karena kamu mencintai-Nya, maka kamu berharap dan mencari keridhaan-Nya.” (lihat asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zaad al-Mustaqni’ [1/9] cet. Mu’assasah Aasam)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “…Pokok semua amalan adalah kecintaan. Seorang manusia tidak akan melakukan amalan/perbuatan kecuali untuk apa yang dicintainya, bisa berupa keinginan untuk mendapatkan manfaat atau demi menolak madharat. Apabila dia melakukan sesuatu; maka bisa jadi hal itu terjadi karena untuk mendapatkan sesuatu yang disenangi karena barangnya seperti halnya makanan, atau karena sebab luar yang mendorongnya seperti halnya mengkonsumsi obat. Adapun ibadah kepada Allah itu dibangun di atas kecintaan, bahkan ia merupakan hakekat/inti daripada ibadah. Sebab seandainya kamu melakukan sebentuk ibadah tanpa ada unsur cinta niscaya ibadahmu akan terasa hampa dan tidak ada ruhnya sama sekali…” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [2/3] cet. Maktabah al-‘Ilmu)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Pokok dan ruh ketauhidan adalah memurnikan rasa cinta untuk Allah semata, dan hal itu merupakan pokok penghambaan dan penyembahan kepada-Nya. Bahkan, itulah hakekat dari ibadah. Tauhid tidak akan sempurna sampai rasa cinta seorang hamba kepada Rabbnya menjadi sempurna, dan kecintaan kepada-Nya harus lebih diutamakan daripada segala sesuatu yang dicintai. Sehingga rasa cintanya kepada Allah mengalahkan cintanya kepada selain-Nya dan menjadi penentu atasnya, yang membuat segala perkara yang dicintainya harus tunduk dan mengikuti kecintaan ini yang dengannya seorang hamba akan menggapai kebahagiaan dan kemenangan.” (lihat al-Qaul as-Sadid Fi Maqashid at-Tauhid, hal. 95)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ibadah yang diperintahkan itu mengandung perendahan diri dan kecintaan. Ibadah ini ditopang oleh tiga pilar; cinta, harap, dan takut. Ketiga pilar ini harus berpadu. Barangsiapa yang hanya bergantung kepada salah satunya maka dia belum beribadah kepada Allah dengan benar. Beribadah kepada Allah dengan modal cinta saja adalah metode kaum Sufi. Beribadah kepada-Nya dengan rasa harap semata adalah metode kaum Murji’ah. Adapun beribadah kepada-Nya dengan modal rasa takut belaka, maka ini adalah jalannya kaum Khawarij.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 35 cet. Dar Ibnu Khuzaimah)

Apabila terkumpul ketiga hal ini -cinta, harap, dan takut- di dalam ibadah maka itulah asas tegaknya ibadah. Adapun orang yang beribadah kepada Allah hanya dengan bersandar kepada salah satunya saja maka dia menjadi orang yang sesat. Orang yang beribadah kepada Allah dengan cinta belaka tanpa rasa takut dan harap maka ini adalah jalannya kaum Sufiyah yang mengatakan bahwa ‘kami beribadah kepada Allah bukan karena takut neraka atau mengharapkan surga, tetapi kami beribadah kepada-Nya hanya karena kami mencintai-Nya’. Cara beribadah semacam ini adalah kesesatan. Karena sesungguhnya para nabi dan malaikat sebagai makhluk yang paling utama merasa takut kepada Allah dan mengharap kepada-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka itu adalah bersegera dalam kebaikan dan berdoa kepada Kami dengan penuh rasa harap dan takut…” (al-Anbiyaa’ : 90) (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 191)

Orang yang beribadah kepada Allah hanya dengan bersandar kepada harapan (roja’) maka dia termasuk penganut pemikiran Murji’ah yang hanya bersandar kepada harapan dan tidak takut akan dosa dan maksiat. Mereka mengatakan bahwa iman cukup dengan pembenaran dalam hati atau pembenaran hati dan diucapkan dengan lisan. Mereka juga mengatakan bahwa amal itu sekedar penyempurna dan pelengkap. Hal ini adalah kesesatan, karena sesungguhnya iman itu mencakup ucapan, amalan, dan keyakinan. Ketiga hal ini harus ada, tidak cukup dengan salah satunya saja (lihat keterangan Syaikh al-Fauzan dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 191-192)

Barangsiapa yang beribadah kepada Allah hanya dengan bersandar kepada rasa takut (khauf) maka dia berada di atas jalan kaum Khawarij yang beribadah kepada Allah hanya dengan bertumpu pada rasa takut. Sehingga mereka hanya mengambil dalil-dalil yang berisi ancaman (wa’iid) dan pada saat yang sama mereka justru meninggalkan dalil-dalil yang berisi janji (wa’d), ampunan, dan rahmat. Ketiga kelompok ini yaitu Sufiyah, Murji’ah dan Khawarij adalah kelompok yang ekstrim/ghuluw dalam beragama (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 192)

Adapun jalan yang benar adalah beribadah kepada Allah dengan memadukan ketiga hal ini; cinta, harap, dan takut. Inilah iman. Inilah jalan kaum beriman. Inilah hakikat tauhid. Dan inilah yang terkandung dalam surat al-Fatihah. ‘alhamdulillah’ mengandung pilar kecintaan. ‘ar-rahmanir rahiim’ mengandung pilar harapan. Dan ‘maaliki yaumid diiin’ mengandung pilar rasa takut (lihat keterangan Syaikh al-Fauzan dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 192)

Di dalam kalimat ‘alhamdulillah’ terkandung kecintaan. Karena Allah adalah Dzat yang mencurahkan nikmat dan Dzat yang mencurahkan nikmat itu dicintai sekadar dengan kenikmatan yang diberikan olehnya. Jiwa manusia tercipta dalam keadaan mencintai siapa saja yang berbuat baik kepadanya. Sementara Allah adalah sumber segala nikmat dan karunia yang ada pada diri hamba. Oleh sebab itu wajib mencintai Allah dengan kecintaan yang tidak tertandingi oleh kecintaan kepada segala sesuatu. Karena itulah kecintaan menjadi salah satu bentuk ibadah yang paling agung (lihat keterangan Syaikh al-Fauzan dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 185)

Di dalam kalimat ‘ar-Rahmanir Rahiim’ terkandung harapan. Karena Allah adalah pemilik sifat rahmat/kasih sayang. Oleh sebab itu kaum muslimin senantiasa mengharapkan rahmat Allah (lihat keterangan Syaikh al-Fauzan dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 190)

Konsekuensi dari sifat rahmat ini adalah Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab untuk membimbing manusia demi kebahagiaan hidup mereka. Perhatian Allah untuk itu jelas lebih besar daripada sekedar perhatian Allah untuk menurunkan hujan, menumbuhkan tanam-tanaman dan biji-bijian di atas muka bumi ini. Siraman air hujan membuahkan kehidupan tubuh jasmani bagi manusia. Adapun wahyu yang dibawa oleh para rasul dan terkandung di dalam kitab-kitab merupakan sebab hidupnya hati mereka (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 8).

Di dalam kalimat ‘maaliki yaumid diin’ terkandung rasa takut. Karena di dalamnya terkandung rasa takut terhadap hari kiamat. Oleh sebab itu setiap muslim merasa takut akan hukuman Allah pada hari kiamat (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 190-191)

Demikian pembahasan singkat yang bisa kami sajikan dalam kesempatan ini dengan taufik dari Allah semata. Semoga bermanfaat bagi kita dalam mewujudkan ibadah kepada Allah dengan makna yang sebenarnya. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Penyusun : www.al-mubarok.com


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/mengenal-tauhid-bagian-5/